Rabu, 01 April 2015

MAKALAH - TEORI-TEORI DALAM ANTROPOLOGI


BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Antropologi berasal dari bahasa Yunani Anthropos yang berarti manusia dan Logos yang berarti wacana (dalam pengertian "bernalar", "berakal").
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Terlepas dari jenis penelitian tentang Antropologi maka harus memperoleh banyak informasi tentang pendekatan Antropologi baik secara umum atau khusus yang digunakan dalam ilmu social. Fungsi dari pendekatan ini adalah untuk mengetahui peistiwa-peristiwa yang dialami oleh manusia, yang menyangkut kajian tentang satu hal atau lebih secara intensif. Data yang dikumpulkan dapat diperoleh dengan berbagai cara. Pendekatan antropologi ini di samping digunakan dalam penelitian ilmu social, juga dapat memberikan kesimpulan yang berlaku untuk umum.
B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana konsep teori evolusionisme?
2.      Bagaimana konsep teori difusionisme?
3.      Bagaimana konsep teori fungsionalisme?
4.      Bagaimana konsep teori fungsionalisme-struktural?
5.      Bagaimana konsep teori strukturalisme?
6.      Bagaimana konsep teori etnosains?
7.      Bagaimana konsep  teori simbolisme?
8.      Bagaiman konsep teori interpretivisme?
9.      Bagaimana konsep teori postmodernisme?

BAB II
PEMBAHASAN

1.        Teori Evolusionisme
Dalam  jajaran studi antropologi, aliran evolusionis merupakan yang tertua, kemudian berturut-turut adalah aliran struktural fungsional, kognitif, strukturalisme, dan simbolik-interpretatif.
Prespektif evolusionisme berdasar atas suatu pandangan bahwa ada suatu proses perubahan dari waktu ke waktu secara evolusioner, dan dalam bentuknya yang seperti sekarang. Misalkan, teori evolusi keluarga yang di angkat oleh Bachofen maka masa awal kehidupan manusia itu mengikuti cara hidup binatang yang disebut sebagai fase promiskuitas, kemudian berkembang ke kehidupan kelompok yang mengenal diferensiasi, ayah, ibu, dan anak dalam sebuah keluarga, terus ke indogami. Jadi, proses perubahan itu tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi, bermekanisme evolutif perlahan tetapi pasti.[1]
a.    Teori Evolusi Kebudayaan L.H. Morgan
Lewis H. Morgan (1818-1881) mula-mula adalah seorang ahli hukum yang lama tinggal di daerah suku-suku bangsa Indian Iroquois sebagai pengacara bagi orang-orang Indian mengenai tanah. Dengan demikian ia mendapat pengetahuan mengenai kebudayaan orang-orang Indian itu. Sesuai zamannya, ia juga percaya kepada konsep evolusi masyarakat. Karya pokoknya yang berjudul Ancient Society (1877) mencoba melukiskan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia melalui delapan tingkat evolusi universal. Yaitu :
1.    Zaman Liar, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan api; dalam zaman ini manusia hidup meramu, mencari akar-akar dan tumbuh-tumbuhan liar.
2.    Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai ia menemukan senjata busur-panah; dalam zaman ini manusia mulai merubah mata pencaharian hidupnya dari meramu memjadi pencari ikan di sungai-sungai atau menjadi pemburu.
3.    Zaman Liar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan senjata busur-panah, sampai ia mendapatkan kepandaian  membuat barang-barang tembikar; dalam zaman ini mata pencaharian hidupnya masih memburu.
4.    Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat tembikar sampai ia mulai beternak atau bercocok tanam
5.    Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak manusia beternak atau bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam.
6.    Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam, sampai ia mengenal tulisan.
7.     Zaman Peradaban Purba
8.    Zaman Peradaban Masa Kini[2]

b.    Menghilangnya Teori-Teori Evolusi Kebudayaan
Pada abad ke-19 mulai timbul kecaman-kecaman terhadap cara berpikir dan cara bekerja para sarjana penganut evolusi kebudayaan. Kecaman mulai  menyerang detail dan unsur-unsur tertentu dalam berbagai karangan daripara penganut teori-teori tersebutkemudian meningkat menjadi serangan terhadap konsepsi dasar dari teori-teori tentang evolusi kebudayaan manusia. pada permulaan abad ke-20 hampir tidak ada lagi karya antropologi yang berdasarkan konsep evolusi. Hanya kira-kira sekitar 1930 tampak adanya penelitian-penelitian antropologi berdasarkan konsep-konsep itu di Uni Soviet.[3]
2.        Teori Difusionisme
a.    Sejarah Persebaran Unsur-Unsur Kebudayaan Manusia
Anggapan dasar dari para sarjana seperti F. Ratzer (1844-1904) yang pernah mempelajari berbagai bentuk senjata busur di berbagai tempat di Afrika mengemukakan bahwa kebudayaan manusia itu pangkalnya satu, dan di suatu tempat tertentu, yaitu pada waktu makhluk manusia baru saja muncul di dunia. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang, menyebar, dan pecah kedalam banyak kebudayaan baru, karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu. Dalam proses memecah itu bangsa-bangsa pemangku kebudayaan-kebudayaan yang baru tadi tidak tinggal terpisah. Sepanjang masa di muka bumi ini senantiasa terjadi gerak perpindahan bangsa-bangsa yang saling berhubungan serta pengaruh-mempengaruhi. Tugas terpenting ilmu etnologi menurut para sarjana tadi ialah antara lain untuk mencari kembali sejarah gerak perpindahan bangsa-bangsa itu, proses pengaruh-mempengaruhi, serta persebaran kebudayaan manusia dalam jangka waktu beratus-ratus ribu tahun yang lalu, mulai saat terjadinya manusia hingga sekarang.
d. Teori Difusi Elliot Smith dan Perry
Di Inggris pada waktu itu pula ahli antropologi yang merupakan berbagai penelitian difusi unsur-unsur kebudayaan. Seorang tokoh penting diantaranya A.C. Haddon, yang pernah memimpin Ekspedisi Cambridge ke elat Torres. Ada juga G. Elliot smith (1871-1937) dan W.J. Perry (1887-1949). Elliot dan Perry mengajukan teori bahwa sejarah kebudayaan dunia zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar yang berpangkal di Mesir. Teori itu kemudian sering disebut Heliolithic Theory, karena menurut Elliot mith dan Perry unsur-unsur penting dari kebudayaan Mesir Kuno yang tersebar di daerah luas tersebut di atas itu tampak pada bangunan-bangunan batu besar, atau megalith,  dan  juga pada suatu komplex unsur-unsur keagamaan yang berpusat pada penyembahan matahari, atau helios.
            Tetapi pendirian seperti Elliot dan Perry kemudian mendapat berbagai kecaman. Salah satu kecaman diajukan oleh R.H. Rowie, ahli antropologi Amerika yang menyatakan bahwa teori Heliolitik itu merupakan teori difusi yang sangat ekstrem, dan tidak sesuai dengan kenyataan, baik di pandang dari sudut penggalian ilmu prehistori maupun dari sudut konsep-konsep tentang proses difusi dan pertukaran unsur-unsur kebudayaan antara bangsa-bangsa yang telah diterima dalam ilmu antropologi. Pada masa sekarang teori itu dalam kalangan ilmu antropologi digunakan sebagai contoh untuk menerangkan gejala persamaan-persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia.[4]
3.        Teori Fungsionalisme
Bronislaw Malinowski (1884-1942) dididik di Polandia sebagai seorang ahli matematika. Kemudian mempelajari antropologi di Inggris selama 4 tahun dan selama Perang Dunia I tinggal diantara penduduk asli Pulau Trobriand. Sambil mengamati cara hidup penduduk asli Pulau Trobriand serta kebiasaan-kebiasaan daripenduduk asli. Malinowski mengajukan sebuah orientasi yang dinamakan fungsionalisme. Yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Menurut Malinowski fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan dan reproduksi (melahirkan keturunan).  Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan itu muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Contohnya : unsur kebudayaan yang memenuhi akan makanan menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi’ untuk itu masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi polotik dan pengawasan sosial yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut diatas. Jadi menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan  yaitu semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.
Malinowski percaya bahwa pendekatan yang fungsional mempunyai suatu nilai praktis yang penting. Pengertian akan hal tersebut dimanfaatkan oleh mereka yang bergaul dengan masyarkat primitif. Malinowski menerangkannya sebagai berikut : “nilai praktis dari teori tersebut (teori fungsionalisme) adalah teori ini mengajarkan pada kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beragam-ragam itu; bagaiamana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu sama lainnya. Bagaimana harus dihadapi oleh penyiar agama oleh penguasa kolonial dan oleh mereka yang secara ekonomis mengeksploatir perdagangan dan tenaga orang-orang masyarakat primitif.[5]
4.        Teori Fungsionalisme Struktural
a.         Malinowski
Dalam ilmu antropologi teori ini dikembangkan oleh seorang tokoh yaitu, Bronis law Malinowski (1884-1942). Perhatiannya terhadap folklor menunjukkan bahwa ia membaca buku J.G. Frazer, The Golden Bough, mengenai imu gaib, yang menyebabkan ia menjadi tertarik kepada ilmu etnologi.
Bukunya yang pertama,yang telah banyak menarik perhatian dunia ilmu etnologi dan antropologi waktu itu adalah Argonauts of the Western Pacific (1922). Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru yang menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya suatu teori fungsional tentang kebudayaan, atau a functional theory of culture.`      
Dalam konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial. Dalam hal ini ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi, yaitu:
1.      Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat,tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.
2.      Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
3.      Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi yang ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.[6]

5.        Teori Strukturalisme
Salah satu tokoh dari teori strukturalisme adalah C. Levi Strauss. Dalam buku-bukunya yang besar, mulai dari Les Structures Elementaries de la Parente, Levi-Strauss menguraikan berbagai macam unsur kebudayaan manusia dengan suatu metode analisa khas yang juga diambilnya dari ilmu linguistik yang disebutnya metode “segitiga kuliner” (triangle culinaire). Metode itu diterapkannya terhadap unsur makanan. Sebab mengapa Levi-Strauss begitu banyak menaruh perhatian terhadap makanan adalah rupa-rupanya disebabkan karena makanan adalah kebutuhan alamiah pokok dari binatang maupun manusia, dan karena makanan manusia menjadi unsur kebudayaan yang diolah api, yaitu salah satu unsur kebudayaan dan sumber energi manusia yang sangat dini. Itulah sebabnya unsur makanan paling cocok untuk mengilustrasikan perbedaan antara alam dan kebudayaan.
Levi-Strauss menganggap ilmu antropologi sebagai ilmu yang dapat memberikan data etnografis mengenai masyarakat primitif, yang ianggapnya perlu untuk mengembangkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep filsafatnya. Masyarakat bersahaja dianggapnya sebagai contoh dari masyarakat elementer, dan manusia yang hidup di dalamnya tentu juga berpikir secara elementer, atau dengan istilahnya: berpikir secara bersahaja (la pensee sauvage).
Pranata “totemisme” sudah sejak lebih dari satu abad lamanya menjadi bahan pembicaraan para ahli antropologi, yaitu sejak gejala itu pertama-tama dilaporkan oleh seorang pedagang keliling bernama J. Long, yang sering mendatangi tempat-tempat pemukiman suku-suku bangsa Indian Algonquin dan Chippeway di daerah sekitar danau-danau besar di Kanada Selatan. Dalam buku kisah perjalanannya berjudu Trader of an Indian Interpreter and Trader (1701) ia mendeskripsikan untuk pertama kalinya suatu keyakinan diantara para warga suku bangsa Ojibnya khususnya, akan adanya suatu roh pelindung totem yang bermukim dalam tubuh sejenis binatang tertentu, yang karena itu dianggap keramat dan pantang diburu atau dibunuh. Terutama karena tulisan-tulisan para pendekar antropologi E.B. Tylor dan J.Frazer, maka konsep totem dan pranata totemisme menjadi konsep penting yang sangat banyak dipelajari oleh berbagai pengumpul data etnografi di lapangan, maupun oleh para ahli etnologi dan antropologi di kamar kerja mereka sejak zaman Durkheim hingga kini. A. Van Gennep yang pernah menulis buku I Etat Actuelle du Probleme Totemique (1920), yang sebenarnya merupakan suatu tinjauan menyeluruh. [7]
6.        Teori Etnosains
Etnografi ditinjau dari segi harfiah berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yag ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan(field work)selama sekian bulan atau tahun. Penelitian antropologis untuk menghasilkan laporan tersebut begitu khas, sehingga kemudian istilah etnografi juga digunakan untuk mengacu pada metode penelitian untuk menghasilkan laporan tersebut.
Peneliti awal yang terkenal dalam antropologi adalah W.H.R Rivers dari Inggris dan Franz Boas dari Amerika Serikat pengalaman penelitian pertama Rivers adalah sebagai peserta dalam Cambridge Torres Staits Expedition(1899), di mana beliau kemudian berhasil mengembangkan suatu metode wawancara yang khas, yang disebut dengan istilah “genealogical method”.  Sementara itu boas telah melakukan berbagai ekspedisi penelitan lapangan dikalangan orang Eskimo dan Indian di Amerika Utara, satu yang terkenal diantarnya adalah Jessup pacific expedition (1897-1902)
Pada masa awal ini, teknik etnografi yang utama adalah wawancara yang panjang, berkali-kali, dengan beberapa informasi kunci, yaitu orang-orang tua dalam masyarakat tersebut yang kaya dengan cerita masa lampau, tentang kehidupan yang  “nyaman” pada suatu masa dahulu. Orientasi teoritis para peneliti terutama berkaitan dengan perubahn sosial dan kebudayaan. Para peneliti berasal dari aliran pemikiran difusioniisme (rivers) dan aliran kulturhistoris (boas). Pendeknya, tipe penelitian etnografi pada masa awal ini adalah  “informan oriemted”, karena tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran masa lalu masyarakat tersebut.

a.    Etnografi Modern
Metode etnografi modern seperti yang umum dijalankan orag pada masa kini, baru muncul pada 1915-1925,  dan dipelopori oleh dua ahli antropologi sosial Inggris, A.R. Radcliffe-brown dan Bronislaw Malinow-ski. Cirri penting yang membedakan merka dari para etnografer awal adalah bahwa keduanya tidak terlalu memandang penting hal-ihwal  yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa kini yang sedang dijalani oleh anggota masyarakat, yaitu tentang way of life masyarakat tersebut.
Untuk mencapai tujuan tersebut, sang peneliti tidak cukup hanya melakukan interview dengan beberapa informan tua, seperti yang dilakukan oleh para etnografer pemula, tetapi yang lebih penting lagi adalah melakukan observasi sambil berpartisipasi dengan kehidupan masyarakat tersebut. Teknik inilah yang dikembangkan oleh Maliniwski di kepulauan trobriand.
b.         Etnografi Baru
Dalam etnografi modern, bentuk sosial dan budaya masyarakat dibangun dan dideskripsikan melalui analisis dan nalar peneliti. Sedangkan dalam etnografi baru, bentuk tersebut dianggap meupakan susunan yang ada dalam pikiran (mind) anggota masyarakat tersebut, dan tugas sang peneliti adalah mengoreknya keluar dari pikiran mereka, cara mengorek dan mendeskripsikan pola yang ada dalam pikiran manusia itu adalah khas, yaotu melalui metode folx taxonomy. Karena itu, objek kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, tetapi tentang cara fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran (mind)manusia.jadi singkatnya, budaya itu ada pada pikiran manusia dan bentuknya adalah organisasi pikiran tentang fenomena material. Tugas etnografi adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut[8]

7.        Teori Simbolisme
Dalam bidang kebudayaan arti penting simbolisme semakin diakui oleh para peneliti. Bagaimanapun besarnya perbedaan gaya hidup dan struktur sosial suku-suku dan bangsa-bangsa, semuanya mendiami apa yang dapat disebut didunia simbolis. Makan, dan minum, memasak, membersihkan, fungsi-fungsi tubuh semuanya dilakukan di dalam konteks hubungan sosial yang lebih luas yang diungkapakan dalam kata-kata, gerak-gerik dan tata cara. “Masyarakat” meliputi nenek moyang yang sudah meninggal, roh-roh yang baik dan jahat, serta kaum kerabat dan anggota suku-suku lainnya. Melalui bentuk-bentuk simbolis kesejahteraan suku dapat dipelihara dan kebutuhan individu yang bersifat jasmani dilampaui.[9]
a.       Teori simbolisme Clifford Greetz
Selama beberapa tahun Greetz menetapkan tujuan utama hidupnya adalah untuk menfasirkan kebudayaan-kebudayaan. Bukunya yaitu Anthropological Approaches to the Study of Religion. Menurutnya penggunaan Greetz sendiri, kebudayaan berarti suatu pola makna yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalm simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang menjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang serta sikap-sikap mereka terhadap hidup. Jadi, “makna yang diejawantahkan dalam simbol”,”konsep yang terungkap dalam bentuk simbolis” merupakan pusat minat dan penelitiannya. Bentuk-bentuk simbolis, dalam suatu konteks sosial khusus, mewujudkan suatu pola atau sistem yang dapat disebut suatu kebudayaan. Menafsirkan suatu kebudayaan adalah menafsirkan sistem bentuk simbolnya dan dengan demikian menurunkan makna yang autentik. Ia menyetujui dan menutip tekanan yang diberikan Suzanne Langer kepada tempat dominan yang diduduki makna dan simbol dalam disiplin ilmu filsafat pada zaman kita.
Dengan memusatkan perhatian pada simbol-simbol keagamaan atau yang suci, Greetz memberikan paradigma ini : simbol keagamaan “berfungsi mensintesikan etos suatu bangsa nada, watak, mutu hidup mereka, gaya, rasa moral, dan estetisnya serta pandangan hidup mereka, gambaran yang mereka punyai tentang cara hal ikhwal apa adanya, gagasan-gagasan mereka yang paling komprehensif tentang tatanan.
Lalu bagaimana sebuah simbol dapat didefinisikan ? lagi, dengan mengikuti Langer, Greetz mengajukan “setiap objek, tindakan, peristiwa, sifat, atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi, dan konsepsi ini adalah ‘mankna’ simbol. Jadi, penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, terserap, umum, dan konkret. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensintesiskan dan mengintergretasikan “dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan.[10]
8.        Teori Interpretivisme
Antropologi humanistic adalah mentalitas dalam orientasinya memandang kebudayaan sebagai sistem gagasan nilai-nilai dan makna.  Kajian ideografig adalah khusus dan didasarkan pada ksus yang sedemikian rupa dapat menangkap totalitas kehidupan dalam suatu masyarakat dan variasinya. Cifford Geertz (1973) mengemukakan makna yang didasarkan pada pandangan nativ sesungguhnya relative fisik, maksudnya adalah pandangan yang mencerminkan proses pengetahuan diri sendiri, persepsi diri sendiri dan pemahaman diri sendiri bagi pengetahuan orang lain, persepsi orang lain, dan pemahaman orang lain. Geertz menulis “ gagasan kita, nilai-nilai kita, perilaku kita, bahkan emosi kita, seperti halnya sistem persarafan, adalah produk kebudayaan yang dibangun di luar kecenderungan kapasitas, dan posisi ketika kita dilahirkan, melainkan di bangun dan terus dibangu..” 
Interpretativisme Simbolik sebagai Paradigma
Interpretativisme Simbolik adalah kajian mengenai istilah-istilah dasar dengan memendang diri kita sendiri sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dan mengenai bagaimana istilah-istilah dasar yang digunakan oleh manusia untuk membangun suatu mede kehidupan bagi diri kita sendiri.
9.        Teori Post-modernisme
            Menurut Kohler (1977) dan Hassan (1985), istilah ‘post-modernisme’ pertama kali digunakan oleh Federico de Onis pada 1930-an untuk menunjukkan reaksi minor terhadap modernisme. Istilah itu menjadi populer pada 1960-an di New York ketika digunakan oleh para seniman, penulis dan kritikus. Istilah ini dipakai secara lebih luas dalam bidang arsitektur, seni visual dan pertunjukan, dan musik dalam tahun 1970-an dan 1980-an. Kemudian disebarkan secara berulang-ulang antara Eropa dan Amerika Serikat sebagai pencarian akan penjelasan dan pembenaran teoritis post-modernisme seni yang pembahasannya tentang postmodernitas.
Diantara berbagai ciri yang berasosiasi dengan post-modernisme dalam bidang seni adalah: penghapusan batas antara seni dengan kehidupan sehari-hari; ironi, lelucon dan pertunjukan tentang ‘kedangkalan’ permukaan budaya: menurunnya keaslian/bakat produser seni; dan asumsi bahwa seni hanya merupakan pengulangan.
            Konsep postmodernisme dimanipulasi oleh para seniman, intelektual dan akademisi sebagai bagian dari pertarungan kekuasaan dan interdependensi dalam bidang mereka. Salah satu daya tariknya, konsep postmodernisme ini berbicara dengan berbagai perubahan dan juga bermaksud menyorotinya dalam pengalaman keseharian dan dalam praktik-praktik budaya berbagai kelompok yang lebih luas dalam masyarakat. Postmodernisme menarik bagi berbagai kegiatan seni dan ilmu sosial serta disiplin humanitas karena mengarahkan perhatian kita pada berbagai perubahan yang terjadi dalam budaya kontemporer. Dalam tahun-tahun belakangan ini kita telah menyaksikan adanya peningkatan minat yang sangat dramatis dalam masalah kebudayaan.[11]
Terdapat banyak contoh kasus dalam sosial budaya Indonesia yang dianggap sebagai suatu sifat atau kegiatan postmodern dalam sudut pandang kaum postmodern itu sendiri. Misalnya dari media elektronik, berupa televisi. Bentuk iklan rokok A mild menggunakan filsafat posmodern yang terlihat dari tema-tema yang sering diajukan terkesan sangat tidak berhubungan dengan produknya, malah lebih sarat dengan tema politik dan sosial yang sedang berkembang. Seperti sebelumnya, tagline ‘ wani piro’ yang menyindir para koruptor dan penyuap.
Selain itu bentuk dekonstruksi dan hyperealis dapat kita temukan dalam internet dan game online seperti facebook. Foto yang ditampilkan merupakan aspal (asli tetapi palsu), walau ada sebagaian yang memasang dengan foto yang asli. Chatting : kenal di dunia maya tetapi belum tentu kenal di dunia nyata. Selain itu bentuk desain poster/pamflet ataupun media promosi lainnya, yang ada kini sering berkesan berantakan, asal , atau mungkin mengambil dari masa lalu.[12]





BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa : Lewis H. Morgan melukiskan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia melalui delapan tingkat evolusi universal yaitu : Zaman Liar, Zaman Liar Madya, Zaman Liar Muda, Zaman Barbar Tua, Zaman Barbar Madya, Zaman Barbar Muda, Zaman Peradaban Purba, Zaman Peradaban Masa Kini. G. Elliot smith (1871-1937) dan W.J. Perry (1887-1949) mengajukan teori bahwa sejarah kebudayaan dunia zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar yang berpangkal di Mesir. Teori itu kemudian sering disebut Heliolithic Theory.
Menurut Malinowski teori fungsionalisme adalah teori yang mengajarkan pada kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beragam-ragam itu. Malinowski juga mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru yang menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya suatu teori fungsional tentang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Levi-Strauss menerapkan teorinya (strukturalisme) pada makanan karena makanan adalah kebutuhan alamiah pokok dari binatang maupun manusia, dan karena makanan manusia menjadi unsur kebudayaan yang diolah api.
Etnografi ditinjau dari segi harfiah berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yag ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan(field work). Menurut Clifford Greetz  kebudayaan berarti suatu pola makna yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalm simbol-simbol. Konsep postmodernisme menarik bagi berbagai kegiatan seni dan ilmu sosial serta disiplin humanitas karena mengarahkan perhatian kita pada berbagai perubahan yang terjadi dalam budaya kontemporer.


DAFTAR PUSTAKA

Frederick William Dill, 2002, The Power of Symbols, Yogyakarta : Kanisius  
                                
James P. Spradly, 2007, Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana

Koentjaraningrat,  1982, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI Press

Mike Featherstone, 2001,  Postmodernisme dan Budaya Konsumen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nur Syam, 2011, Mazhab- Mazhab Antropologi, Yogyakarta : PT. LkiS

T.O Ihromi (ed.), 1980, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta : Yayasa Obor Indonesia





[1] Nur Syam, Mazhab- Mazhab Antropologi. (PT. LKiS ,Yogyakarta, 2011)hal.15
[2] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, (UI Press, Jakarta, 1982), hlm. 41-44
[3] Ibid, hlm. 55-56
[4] Koentjaraningrat, Ibid, hlm. 110-119
[5] T.O Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya, (Yayasa Obor Indonesia, Jakarta, 1980) hlm. 59-60
[6] Koentjaraningrat, Op.cit, hlm. 160
[7] Ibid, hlm. 208
[8] James p.spradly,metode etnografi.Tiara Wacana,Yogyakarta:2007 halm,vii-xii
[9] Frederick William Dillistone, The Power of Symbols,(Kanisius, Yogyakarta, 2002) hlm. 102-104
[10] Ibid,  hlm. 115-117
[11] Mike Featherstone, Postmodernisme dan Budaya Konsumen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. hlm. 16-26

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Copyright © Komunikasi & Penyiaran Islam (KPI-C '14) | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | BTheme.net      Up ↑