BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Antropologi berasal dari bahasa Yunani Anthropos yang
berarti manusia dan Logos yang berarti wacana (dalam
pengertian "bernalar", "berakal").
Antropologi adalah studi tentang umat manusia,
berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya
serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Terlepas dari jenis penelitian tentang Antropologi
maka harus memperoleh banyak informasi tentang pendekatan Antropologi baik secara
umum atau khusus yang digunakan dalam ilmu social. Fungsi dari
pendekatan ini adalah untuk mengetahui peistiwa-peristiwa yang
dialami oleh manusia, yang menyangkut kajian tentang satu hal atau lebih secara
intensif. Data yang dikumpulkan dapat diperoleh dengan berbagai cara.
Pendekatan antropologi ini di samping digunakan dalam penelitian ilmu social,
juga dapat memberikan kesimpulan yang berlaku untuk umum.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana konsep teori evolusionisme?
2.
Bagaimana konsep teori difusionisme?
3.
Bagaimana konsep teori fungsionalisme?
4.
Bagaimana konsep teori fungsionalisme-struktural?
5.
Bagaimana konsep teori strukturalisme?
6.
Bagaimana konsep teori etnosains?
7.
Bagaimana konsep teori simbolisme?
8.
Bagaiman konsep teori interpretivisme?
9.
Bagaimana konsep teori postmodernisme?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Teori
Evolusionisme
Dalam jajaran studi antropologi, aliran evolusionis
merupakan yang tertua, kemudian berturut-turut adalah aliran struktural
fungsional, kognitif, strukturalisme, dan simbolik-interpretatif.
Prespektif evolusionisme berdasar atas suatu pandangan bahwa ada suatu proses perubahan dari waktu ke waktu secara evolusioner, dan dalam bentuknya yang seperti sekarang. Misalkan, teori evolusi keluarga yang di angkat oleh Bachofen maka masa awal kehidupan manusia itu mengikuti cara hidup binatang yang disebut sebagai fase promiskuitas, kemudian berkembang ke kehidupan kelompok yang mengenal diferensiasi, ayah, ibu, dan anak dalam sebuah keluarga, terus ke indogami. Jadi, proses perubahan itu tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi, bermekanisme evolutif perlahan tetapi pasti.[1]
Prespektif evolusionisme berdasar atas suatu pandangan bahwa ada suatu proses perubahan dari waktu ke waktu secara evolusioner, dan dalam bentuknya yang seperti sekarang. Misalkan, teori evolusi keluarga yang di angkat oleh Bachofen maka masa awal kehidupan manusia itu mengikuti cara hidup binatang yang disebut sebagai fase promiskuitas, kemudian berkembang ke kehidupan kelompok yang mengenal diferensiasi, ayah, ibu, dan anak dalam sebuah keluarga, terus ke indogami. Jadi, proses perubahan itu tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi, bermekanisme evolutif perlahan tetapi pasti.[1]
a. Teori Evolusi Kebudayaan L.H. Morgan
Lewis H. Morgan (1818-1881)
mula-mula adalah seorang ahli hukum yang lama tinggal di daerah suku-suku
bangsa Indian Iroquois sebagai pengacara bagi orang-orang Indian mengenai
tanah. Dengan demikian ia mendapat pengetahuan mengenai kebudayaan orang-orang
Indian itu. Sesuai zamannya, ia juga percaya kepada konsep evolusi masyarakat.
Karya pokoknya yang berjudul Ancient Society (1877) mencoba melukiskan
proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia melalui delapan tingkat
evolusi universal. Yaitu :
1. Zaman Liar, yaitu zaman sejak adanya
manusia sampai ia menemukan api; dalam zaman ini manusia hidup meramu, mencari
akar-akar dan tumbuh-tumbuhan liar.
2. Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak
manusia menemukan api, sampai ia menemukan senjata busur-panah; dalam zaman ini
manusia mulai merubah mata pencaharian hidupnya dari meramu memjadi pencari
ikan di sungai-sungai atau menjadi pemburu.
3. Zaman Liar Muda, yaitu zaman sejak
manusia menemukan senjata busur-panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat barang-barang tembikar; dalam zaman
ini mata pencaharian hidupnya masih memburu.
4. Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak
manusia menemukan kepandaian membuat tembikar sampai ia mulai beternak atau
bercocok tanam
5. Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak
manusia beternak atau bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat
benda-benda dari logam.
6. Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak
manusia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam, sampai ia mengenal
tulisan.
7. Zaman Peradaban Purba
8. Zaman Peradaban Masa Kini[2]
b.
Menghilangnya Teori-Teori Evolusi Kebudayaan
Pada abad ke-19 mulai timbul kecaman-kecaman terhadap cara berpikir dan
cara bekerja para sarjana penganut evolusi kebudayaan. Kecaman mulai menyerang detail dan unsur-unsur tertentu
dalam berbagai karangan daripara penganut teori-teori tersebutkemudian
meningkat menjadi serangan terhadap konsepsi dasar dari teori-teori tentang
evolusi kebudayaan manusia. pada permulaan abad ke-20 hampir tidak ada lagi
karya antropologi yang berdasarkan konsep evolusi. Hanya kira-kira sekitar 1930
tampak adanya penelitian-penelitian antropologi berdasarkan konsep-konsep itu
di Uni Soviet.[3]
2.
Teori
Difusionisme
a. Sejarah Persebaran Unsur-Unsur
Kebudayaan Manusia
Anggapan dasar dari para sarjana seperti
F. Ratzer (1844-1904) yang pernah mempelajari berbagai bentuk senjata busur di
berbagai tempat di Afrika mengemukakan bahwa kebudayaan manusia itu pangkalnya
satu, dan di suatu tempat tertentu, yaitu pada waktu makhluk manusia baru saja
muncul di dunia. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang, menyebar, dan pecah
kedalam banyak kebudayaan baru, karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu.
Dalam proses memecah itu bangsa-bangsa pemangku kebudayaan-kebudayaan yang baru
tadi tidak tinggal terpisah. Sepanjang masa di muka bumi ini senantiasa terjadi
gerak perpindahan bangsa-bangsa yang saling berhubungan serta
pengaruh-mempengaruhi. Tugas terpenting ilmu etnologi menurut para sarjana tadi
ialah antara lain untuk mencari kembali sejarah gerak perpindahan bangsa-bangsa
itu, proses pengaruh-mempengaruhi, serta persebaran kebudayaan manusia dalam
jangka waktu beratus-ratus ribu tahun yang lalu, mulai saat terjadinya manusia
hingga sekarang.
d. Teori
Difusi Elliot Smith dan Perry
Di Inggris pada waktu itu pula ahli
antropologi yang merupakan berbagai penelitian difusi unsur-unsur kebudayaan.
Seorang tokoh penting diantaranya A.C. Haddon, yang pernah memimpin Ekspedisi
Cambridge ke elat Torres. Ada juga G. Elliot smith (1871-1937) dan W.J. Perry
(1887-1949). Elliot dan Perry mengajukan teori bahwa sejarah kebudayaan dunia
zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar yang
berpangkal di Mesir. Teori itu kemudian sering disebut Heliolithic Theory, karena
menurut Elliot mith dan Perry unsur-unsur penting dari kebudayaan Mesir Kuno
yang tersebar di daerah luas tersebut di atas itu tampak pada bangunan-bangunan
batu besar, atau megalith,
dan juga pada suatu komplex
unsur-unsur keagamaan yang berpusat pada penyembahan matahari, atau helios.
Tetapi pendirian seperti Elliot dan Perry
kemudian mendapat berbagai kecaman. Salah satu kecaman diajukan oleh R.H.
Rowie, ahli antropologi Amerika yang menyatakan bahwa teori Heliolitik itu
merupakan teori difusi yang sangat ekstrem, dan tidak sesuai dengan kenyataan,
baik di pandang dari sudut penggalian ilmu prehistori maupun dari sudut
konsep-konsep tentang proses difusi dan pertukaran unsur-unsur kebudayaan
antara bangsa-bangsa yang telah diterima dalam ilmu antropologi. Pada masa sekarang
teori itu dalam kalangan ilmu antropologi digunakan sebagai contoh untuk
menerangkan gejala persamaan-persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai
tempat di dunia.[4]
3.
Teori
Fungsionalisme
Bronislaw
Malinowski (1884-1942) dididik di Polandia sebagai seorang ahli matematika.
Kemudian mempelajari antropologi di Inggris selama 4 tahun dan selama Perang
Dunia I tinggal diantara penduduk asli Pulau Trobriand. Sambil mengamati cara
hidup penduduk asli Pulau Trobriand serta kebiasaan-kebiasaan daripenduduk asli.
Malinowski mengajukan sebuah orientasi yang dinamakan fungsionalisme. Yang
beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi
masyarakat dimana unsur itu terdapat. Menurut Malinowski fungsi dari satu unsur
budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau
beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder
dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan dan
reproduksi (melahirkan keturunan).
Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu.
Dalam pemenuhan kebutuhan itu muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs),
kebutuhan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Contohnya : unsur
kebudayaan yang memenuhi akan makanan menimbulkan kebutuhan sekunder yaitu
kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi’ untuk
itu masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi polotik dan pengawasan
sosial yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut diatas.
Jadi menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan yaitu semua unsur kebudayaan akhirnya dapat
dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.
Malinowski
percaya bahwa pendekatan yang fungsional mempunyai suatu nilai praktis yang
penting. Pengertian akan hal tersebut dimanfaatkan oleh mereka yang bergaul
dengan masyarkat primitif. Malinowski menerangkannya sebagai berikut : “nilai
praktis dari teori tersebut (teori fungsionalisme) adalah teori ini mengajarkan
pada kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang
beragam-ragam itu; bagaiamana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu sama
lainnya. Bagaimana harus dihadapi oleh penyiar agama oleh penguasa kolonial dan
oleh mereka yang secara ekonomis mengeksploatir perdagangan dan tenaga
orang-orang masyarakat primitif.[5]
4.
Teori Fungsionalisme Struktural
a.
Malinowski
Dalam ilmu antropologi teori ini
dikembangkan oleh seorang tokoh yaitu, Bronis law Malinowski (1884-1942).
Perhatiannya terhadap folklor menunjukkan bahwa ia membaca buku J.G. Frazer, The Golden Bough, mengenai imu gaib,
yang menyebabkan ia menjadi tertarik kepada ilmu etnologi.
Bukunya yang pertama,yang telah banyak
menarik perhatian dunia ilmu etnologi dan antropologi waktu itu adalah Argonauts of the Western Pacific (1922).
Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru yang menganalisa fungsi dari
kebudayaan manusia, yang disebutnya suatu teori fungsional tentang kebudayaan,
atau a functional theory of culture.`
Dalam konsepnya mengenai fungsi sosial
dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial. Dalam hal ini ia
membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi, yaitu:
1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata
sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh
atau efeknya terhadap adat,tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain
dalam masyarakat.
2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata
sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh
atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai
maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata
sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi yang ketiga mengenai
pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara
terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.[6]
5.
Teori Strukturalisme
Salah
satu tokoh dari teori strukturalisme adalah C. Levi Strauss. Dalam buku-bukunya
yang besar, mulai dari Les Structures
Elementaries de la Parente, Levi-Strauss menguraikan berbagai macam unsur
kebudayaan manusia dengan suatu metode analisa khas yang juga diambilnya dari
ilmu linguistik yang disebutnya metode “segitiga kuliner” (triangle culinaire).
Metode itu diterapkannya terhadap unsur makanan. Sebab mengapa Levi-Strauss
begitu banyak menaruh perhatian terhadap makanan adalah rupa-rupanya disebabkan
karena makanan adalah kebutuhan alamiah pokok dari binatang maupun manusia, dan
karena makanan manusia menjadi unsur kebudayaan yang diolah api, yaitu salah
satu unsur kebudayaan dan sumber energi manusia yang sangat dini. Itulah
sebabnya unsur makanan paling cocok untuk mengilustrasikan perbedaan antara
alam dan kebudayaan.
Levi-Strauss
menganggap ilmu antropologi sebagai ilmu yang dapat memberikan data etnografis
mengenai masyarakat primitif, yang ianggapnya perlu untuk mengembangkan
gagasan-gagasan dan konsep-konsep filsafatnya. Masyarakat bersahaja dianggapnya
sebagai contoh dari masyarakat elementer, dan manusia yang hidup di dalamnya
tentu juga berpikir secara elementer, atau dengan istilahnya: berpikir secara
bersahaja (la pensee sauvage).
Pranata
“totemisme” sudah sejak lebih dari satu abad lamanya menjadi bahan pembicaraan
para ahli antropologi, yaitu sejak gejala itu pertama-tama dilaporkan oleh
seorang pedagang keliling bernama J. Long, yang sering mendatangi tempat-tempat
pemukiman suku-suku bangsa Indian Algonquin dan Chippeway di daerah sekitar
danau-danau besar di Kanada Selatan. Dalam buku kisah perjalanannya berjudu Trader of an Indian Interpreter and Trader
(1701) ia mendeskripsikan untuk pertama kalinya suatu keyakinan diantara para
warga suku bangsa Ojibnya khususnya, akan adanya suatu roh pelindung totem yang
bermukim dalam tubuh sejenis binatang tertentu, yang karena itu dianggap
keramat dan pantang diburu atau dibunuh. Terutama karena tulisan-tulisan para
pendekar antropologi E.B. Tylor dan J.Frazer, maka konsep totem dan pranata
totemisme menjadi konsep penting yang sangat banyak dipelajari oleh berbagai
pengumpul data etnografi di lapangan, maupun oleh para ahli etnologi dan
antropologi di kamar kerja mereka sejak zaman Durkheim hingga kini. A. Van
Gennep yang pernah menulis buku I Etat
Actuelle du Probleme Totemique (1920), yang sebenarnya merupakan suatu
tinjauan menyeluruh. [7]
6.
Teori Etnosains
Etnografi ditinjau dari segi harfiah berarti tulisan atau laporan
tentang suatu suku bangsa yag ditulis oleh seorang antropolog atas hasil
penelitian lapangan(field work)selama sekian bulan atau tahun. Penelitian
antropologis untuk menghasilkan laporan tersebut begitu khas, sehingga kemudian
istilah etnografi juga digunakan untuk mengacu pada metode penelitian untuk
menghasilkan laporan tersebut.
Peneliti awal yang terkenal dalam antropologi adalah W.H.R Rivers
dari Inggris dan Franz Boas dari Amerika Serikat pengalaman penelitian pertama
Rivers adalah sebagai peserta dalam Cambridge Torres Staits Expedition(1899),
di mana beliau kemudian berhasil mengembangkan suatu metode wawancara yang
khas, yang disebut dengan istilah “genealogical method”. Sementara itu boas telah melakukan berbagai
ekspedisi penelitan lapangan dikalangan orang Eskimo dan Indian di Amerika
Utara, satu yang terkenal diantarnya adalah Jessup pacific expedition (1897-1902)
Pada masa awal ini, teknik etnografi yang utama adalah wawancara
yang panjang, berkali-kali, dengan beberapa informasi kunci, yaitu orang-orang
tua dalam masyarakat tersebut yang kaya dengan cerita masa lampau, tentang
kehidupan yang “nyaman” pada suatu masa
dahulu. Orientasi teoritis para peneliti terutama berkaitan dengan perubahn
sosial dan kebudayaan. Para peneliti berasal dari aliran pemikiran difusioniisme
(rivers) dan aliran kulturhistoris (boas). Pendeknya, tipe
penelitian etnografi pada masa awal ini adalah
“informan oriemted”, karena tujuannya adalah untuk mendapatkan
gambaran masa lalu masyarakat tersebut.
a.
Etnografi Modern
Metode
etnografi modern seperti yang umum dijalankan orag pada masa kini, baru muncul
pada 1915-1925, dan dipelopori oleh dua
ahli antropologi sosial Inggris, A.R. Radcliffe-brown dan Bronislaw
Malinow-ski. Cirri penting yang membedakan merka dari para etnografer awal
adalah bahwa keduanya tidak terlalu memandang penting hal-ihwal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan
suatu kelompok masyarakat. Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa
kini yang sedang dijalani oleh anggota masyarakat, yaitu tentang way of life
masyarakat tersebut.
Untuk mencapai
tujuan tersebut, sang peneliti tidak cukup hanya melakukan interview dengan
beberapa informan tua, seperti yang dilakukan oleh para etnografer pemula,
tetapi yang lebih penting lagi adalah melakukan observasi sambil berpartisipasi
dengan kehidupan masyarakat tersebut. Teknik inilah yang dikembangkan oleh
Maliniwski di kepulauan trobriand.
b.
Etnografi Baru
Dalam etnografi
modern, bentuk sosial dan budaya masyarakat dibangun dan dideskripsikan melalui
analisis dan nalar peneliti. Sedangkan dalam etnografi baru, bentuk tersebut
dianggap meupakan susunan yang ada dalam pikiran (mind) anggota masyarakat
tersebut, dan tugas sang peneliti adalah mengoreknya keluar dari pikiran
mereka, cara mengorek dan mendeskripsikan pola yang ada dalam pikiran manusia
itu adalah khas, yaotu melalui metode folx taxonomy. Karena itu, objek
kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, tetapi tentang cara
fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran (mind)manusia.jadi singkatnya,
budaya itu ada pada pikiran manusia dan bentuknya adalah organisasi pikiran
tentang fenomena material. Tugas etnografi adalah menemukan dan menggambarkan
organisasi pikiran tersebut[8]
7.
Teori
Simbolisme
Dalam
bidang kebudayaan arti penting simbolisme semakin diakui oleh para peneliti.
Bagaimanapun besarnya perbedaan gaya hidup dan struktur sosial suku-suku dan
bangsa-bangsa, semuanya mendiami apa yang dapat disebut didunia simbolis.
Makan, dan minum, memasak, membersihkan, fungsi-fungsi tubuh semuanya dilakukan
di dalam konteks hubungan sosial yang lebih luas yang diungkapakan dalam
kata-kata, gerak-gerik dan tata cara. “Masyarakat” meliputi nenek moyang yang
sudah meninggal, roh-roh yang baik dan jahat, serta kaum kerabat dan anggota
suku-suku lainnya. Melalui bentuk-bentuk simbolis kesejahteraan suku dapat
dipelihara dan kebutuhan individu yang bersifat jasmani dilampaui.[9]
a. Teori simbolisme Clifford Greetz
Selama beberapa tahun Greetz menetapkan
tujuan utama hidupnya adalah untuk menfasirkan kebudayaan-kebudayaan. Bukunya
yaitu Anthropological Approaches to the Study of Religion. Menurutnya
penggunaan Greetz sendiri, kebudayaan berarti suatu pola makna yang ditularkan
secara historis, yang diejawantahkan dalm simbol-simbol, suatu sistem konsep
yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang menjadi sarana
manusia untuk menyampaikan, mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka
tentang serta sikap-sikap mereka terhadap hidup. Jadi, “makna yang
diejawantahkan dalam simbol”,”konsep yang terungkap dalam bentuk simbolis”
merupakan pusat minat dan penelitiannya. Bentuk-bentuk simbolis, dalam suatu
konteks sosial khusus, mewujudkan suatu pola atau sistem yang dapat disebut
suatu kebudayaan. Menafsirkan suatu kebudayaan adalah menafsirkan sistem bentuk
simbolnya dan dengan demikian menurunkan makna yang autentik. Ia menyetujui dan
menutip tekanan yang diberikan Suzanne Langer kepada tempat dominan yang
diduduki makna dan simbol dalam disiplin ilmu filsafat pada zaman kita.
Dengan memusatkan perhatian pada
simbol-simbol keagamaan atau yang suci, Greetz memberikan paradigma ini :
simbol keagamaan “berfungsi mensintesikan etos suatu bangsa nada, watak, mutu
hidup mereka, gaya, rasa moral, dan estetisnya serta pandangan hidup mereka,
gambaran yang mereka punyai tentang cara hal ikhwal apa adanya, gagasan-gagasan
mereka yang paling komprehensif tentang tatanan.
Lalu bagaimana sebuah simbol dapat
didefinisikan ? lagi, dengan mengikuti Langer, Greetz mengajukan “setiap objek,
tindakan, peristiwa, sifat, atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana
suatu konsepsi, dan konsepsi ini adalah ‘mankna’ simbol. Jadi, penafsiran
kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol
bersifat teraba, terserap, umum, dan konkret. Simbol-simbol keagamaan adalah
simbol-simbol yang mensintesiskan dan mengintergretasikan “dunia sebagaimana
dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan dan simbol-simbol ini berguna untuk
menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan.[10]
8.
Teori
Interpretivisme
Antropologi humanistic adalah mentalitas dalam orientasinya
memandang kebudayaan sebagai sistem gagasan nilai-nilai dan makna. Kajian ideografig adalah khusus dan
didasarkan pada ksus yang sedemikian rupa dapat menangkap totalitas kehidupan
dalam suatu masyarakat dan variasinya. Cifford Geertz (1973) mengemukakan makna
yang didasarkan pada pandangan nativ sesungguhnya relative fisik, maksudnya
adalah pandangan yang mencerminkan proses pengetahuan diri sendiri, persepsi
diri sendiri dan pemahaman diri sendiri bagi pengetahuan orang lain, persepsi
orang lain, dan pemahaman orang lain. Geertz menulis “ gagasan kita,
nilai-nilai kita, perilaku kita, bahkan emosi kita, seperti halnya sistem
persarafan, adalah produk kebudayaan yang dibangun di luar kecenderungan
kapasitas, dan posisi ketika kita dilahirkan, melainkan di bangun dan terus
dibangu..”
Interpretativisme Simbolik sebagai Paradigma
Interpretativisme Simbolik adalah kajian mengenai istilah-istilah
dasar dengan memendang diri kita sendiri sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dan mengenai bagaimana istilah-istilah dasar yang digunakan oleh
manusia untuk membangun suatu mede kehidupan bagi diri kita sendiri.
9.
Teori
Post-modernisme
Menurut Kohler (1977) dan Hassan
(1985), istilah ‘post-modernisme’ pertama kali digunakan oleh Federico de Onis
pada 1930-an untuk menunjukkan reaksi minor terhadap modernisme. Istilah itu
menjadi populer pada 1960-an di New York ketika digunakan oleh para seniman,
penulis dan kritikus. Istilah ini dipakai secara lebih luas dalam bidang
arsitektur, seni visual dan pertunjukan, dan musik dalam tahun 1970-an dan
1980-an. Kemudian disebarkan secara berulang-ulang antara Eropa dan Amerika
Serikat sebagai pencarian akan penjelasan dan pembenaran teoritis
post-modernisme seni yang pembahasannya tentang postmodernitas.
Diantara
berbagai ciri yang berasosiasi dengan post-modernisme dalam bidang seni adalah:
penghapusan batas antara seni dengan kehidupan sehari-hari; ironi, lelucon dan
pertunjukan tentang ‘kedangkalan’ permukaan budaya: menurunnya keaslian/bakat
produser seni; dan asumsi bahwa seni hanya merupakan pengulangan.
Konsep postmodernisme dimanipulasi
oleh para seniman, intelektual dan akademisi sebagai bagian dari pertarungan
kekuasaan dan interdependensi dalam bidang mereka. Salah satu daya tariknya,
konsep postmodernisme ini berbicara dengan berbagai perubahan dan juga
bermaksud menyorotinya dalam pengalaman keseharian dan dalam praktik-praktik
budaya berbagai kelompok yang lebih luas dalam masyarakat. Postmodernisme
menarik bagi berbagai kegiatan seni dan ilmu sosial serta disiplin humanitas
karena mengarahkan perhatian kita pada berbagai perubahan yang terjadi dalam
budaya kontemporer. Dalam tahun-tahun belakangan ini kita telah menyaksikan
adanya peningkatan minat yang sangat dramatis dalam masalah kebudayaan.[11]
Terdapat
banyak contoh kasus dalam sosial budaya Indonesia yang dianggap sebagai suatu
sifat atau kegiatan postmodern dalam sudut pandang kaum postmodern itu sendiri.
Misalnya dari media elektronik, berupa televisi. Bentuk iklan rokok A mild
menggunakan filsafat posmodern yang terlihat dari tema-tema yang sering
diajukan terkesan sangat tidak berhubungan dengan produknya, malah lebih sarat
dengan tema politik dan sosial yang sedang berkembang. Seperti sebelumnya, tagline ‘ wani piro’ yang menyindir para koruptor dan
penyuap.
Selain itu bentuk dekonstruksi dan
hyperealis dapat kita temukan dalam internet dan game online seperti facebook.
Foto yang ditampilkan merupakan aspal (asli tetapi palsu), walau ada sebagaian
yang memasang dengan foto yang asli. Chatting : kenal di dunia maya tetapi
belum tentu kenal di dunia nyata. Selain itu bentuk desain poster/pamflet
ataupun media promosi lainnya, yang ada kini sering berkesan berantakan, asal ,
atau mungkin mengambil dari masa lalu.[12]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa : Lewis H. Morgan melukiskan proses
evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia melalui delapan tingkat evolusi
universal yaitu : Zaman Liar, Zaman Liar Madya, Zaman Liar Muda, Zaman Barbar
Tua, Zaman Barbar Madya, Zaman Barbar Muda, Zaman Peradaban Purba, Zaman
Peradaban Masa Kini. G. Elliot smith (1871-1937) dan W.J. Perry (1887-1949)
mengajukan teori bahwa sejarah kebudayaan dunia zaman purbakala pernah terjadi
suatu peristiwa difusi yang besar yang berpangkal di Mesir. Teori itu kemudian
sering disebut Heliolithic Theory.
Menurut
Malinowski teori fungsionalisme adalah teori yang mengajarkan pada kita tentang
kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beragam-ragam itu. Malinowski
juga mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru yang menganalisa fungsi dari
kebudayaan manusia, yang disebutnya suatu teori fungsional tentang kebudayaan,
atau a functional theory of culture. Levi-Strauss
menerapkan teorinya (strukturalisme) pada makanan karena makanan adalah
kebutuhan alamiah pokok dari binatang maupun manusia, dan karena makanan
manusia menjadi unsur kebudayaan yang diolah api.
Etnografi ditinjau dari segi harfiah berarti tulisan atau laporan
tentang suatu suku bangsa yag ditulis oleh seorang antropolog atas hasil
penelitian lapangan(field work). Menurut Clifford Greetz
kebudayaan berarti suatu pola makna yang
ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalm simbol-simbol. Konsep postmodernisme
menarik bagi berbagai kegiatan seni dan ilmu sosial serta disiplin humanitas
karena mengarahkan perhatian kita pada berbagai perubahan yang terjadi dalam
budaya kontemporer.
DAFTAR
PUSTAKA
Frederick
William Dill,
2002, The Power of Symbols,
Yogyakarta : Kanisius
http://nurulantropologi.blogspot.com/2011/11/post-modernisme-pada-perayaan-may-day.html0, 08:48,
25/03/2015
James
P. Spradly, 2007, Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana
Koentjaraningrat,
1982, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta:
UI Press
Mike
Featherstone, 2001, Postmodernisme
dan Budaya Konsumen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nur
Syam, 2011, Mazhab- Mazhab Antropologi, Yogyakarta : PT. LkiS
T.O
Ihromi (ed.), 1980, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta : Yayasa
Obor Indonesia
[1] Nur Syam, Mazhab-
Mazhab Antropologi. (PT. LKiS ,Yogyakarta, 2011)hal.15
[2] Koentjaraningrat, Sejarah
Teori Antropologi, (UI Press, Jakarta, 1982), hlm. 41-44
[4] Koentjaraningrat, Ibid,
hlm. 110-119
[5] T.O
Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya, (Yayasa Obor Indonesia,
Jakarta, 1980) hlm. 59-60
[6] Koentjaraningrat,
Op.cit, hlm. 160
[7] Ibid, hlm. 208
[11] Mike Featherstone, Postmodernisme
dan Budaya Konsumen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. hlm. 16-26
0 komentar:
Posting Komentar